Epilepsi, sebagai kelainan sistem saraf pusat yang disebabkan oleh gangguan aktivitas listrik di otak, dapat memberikan dampak serangan atau bangkitan berulang yang mengganggu keseharian individu yang mengalaminya.
Bangkitan ini dapat terjadi minimal dua kali, dengan durasi lebih dari 24 jam, atau bahkan satu kali serangan dengan risiko berulang yang tinggi. Meskipun dapat mempengaruhi semua kelompok usia, epilepsi cenderung lebih sering muncul pada anak-anak dan lanjut usia.
Angka kejadian epilepsi di negara dengan pendapatan menengah dan rendah mencapai sekitar 139 per 100.000 orang setiap tahun. Penting untuk dicatat bahwa epilepsi memiliki karakteristik turunan, tetapi tidak menular dari individu satu ke individu lainnya.
Bangkitan epilepsi dapat mengambil berbagai bentuk dan menunjukkan gejala yang bervariasi. Beberapa bentuk bangkitan yang umum termasuk:
- Tatapan kosong dengan ekspresi bengong atau ketakutan
- Kehilangan kesadaran sesaat
- Kelojotan atau kaku pada seluruh atau sebagian tubuh
- Wajah yang menoleh ke samping
- Sensasi kesemutan
- Berkeringat berlebihan
- Perubahan warna wajah.
Selain itu, beberapa orang dengan epilepsi juga dapat mengalami gejala seperti melihat kilatan cahaya, pandangan kabur, atau bahkan mendengar suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada.
Fenomena seperti déjà vu atau jamais vu, serta gangguan bicara dan gerakan berulang tanpa tujuan, juga dapat terjadi selama serangan epilepsi.
Pemeriksaan yang diperlukan untuk mendiagnosis epilepsi melibatkan teknologi seperti Elektroensefalogram (EEG) dan pencitraan resonansi magnetik (MRI) otak.
EEG membantu merekam aktivitas listrik otak, sementara MRI otak memberikan gambaran lebih rinci tentang struktur otak. Dengan hasil pemeriksaan ini, diagnosis dan pengelolaan epilepsi dapat dilakukan lebih efektif.
Berbagai faktor dapat menjadi pemicu bangkitan epilepsi, seperti:
- Kurangnya tidur
- Kelelahan
- Demam
- Paparan cahaya yang menyilaukan
- Konsumsi alkohol atau penyalahgunaan obat-obatan
- Tingkat stres yang tinggi
- Faktor hormonal seperti menstruasi atau gangguan hormonal.
Pengelolaan epilepsi dapat mencakup penggunaan obat-obatan secara teratur untuk mengontrol serangan. Konsistensi dalam minum obat dan pemantauan yang cermat dapat membawa pasien epilepsi menuju kebebasan dari serangan atau bahkan tidak mengalami serangan selama periode yang lebih panjang, misalnya selama tiga tahun berturut-turut.
Dalam konteks pengelolaan epilepsi, penting bagi individu yang mengalami kelainan ini untuk bekerja sama dengan tim medis, mengidentifikasi pemicu potensial, dan mengambil langkah-langkah pencegahan yang sesuai. Pemahaman lebih dalam tentang kondisi ini dan upaya bersama antara pasien dan tenaga medis dapat membantu meningkatkan kualitas hidup individu yang menghadapi epilepsi.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai kesehatan, Anda dapat mengunjungi Rumah Sakit Columbia Asia yang tersebar di Jakarta, Tangerang, Semarang, dan Medan.
Referensi: